Aku tertawa mendengar lelucon Arta.
Anak berambut keriting itu menirukan mimik lucu orang yang baru saja
memarahinya. Arta , teman lelakiku yang lucu itu selalu bisa membuat suasana
tegang menjadi suasana riang.
Kami baru saja habis mencuri mangga
Pak Haji. Sebenarnya mungkin kalau aku yang meminta, pasti dikasih. Tapi Arta
bilang, sangat jauh kalau harus minta ijin ke rumah Pak Haji. Padahal aku hanya
ingin meminta satu saja. Arta lalu menawarkan diri mengambilkannya untukku.
Sayang sekali, penjaga kebun melihatnya tadi. Kasihan dia, dimarahi
habis-habisan. Aku ingin menolongnya, tapi takut. Untunglah ketika akhirnya dia
dilepaskan, Arta tak terlalu mengambil hati peristiwa itu. Dia malah membuat
lelucon tentang kemarahan si tukang kebun.
Aku bertemu Arta, beberapa bulan
lalu. Waktu itu, aku sedang duduk di tepi jembatan. Sedang berpikir betapa
tidak menyenangkannya desa kecil ini. Tak ada tempat nongkrong, tak ada mall,
tak ada cafe. Bahkan jauh dari daerah wisata. Mana daerah ini gersang sekali.
Ciri khas daerah pertambangan. Aku ingin kembali ke Jakarta, biarlah aku minta
izin sama Papa agar masuk SMA di Jakarta saja, tinggal bersama nenek atau
paman. Aku tidak suka bersekolah di tempat pedalaman yang jalannya saja seperti
jalanan ala arena off road.
“Hei! Kamu mau apa?”Terdengar suara
yang membuatku kaget saat itu. Wajah bulat, berkulit gelap namun bermata bening
itu membuatku mundur selangkah. “Kamu mau bunuh diri ya?” tanyanya lagi. Kali
ini aku hanya bengong.
“kalau bunuh diri di sini, gak bakal
mati. Paling juga cacat.” Kata anak itu sok akrab dan duduk di tepi pagar.
“Siapa yang mau bunuh diri? Aku lagi
mikir.” Jawabku akhirnya. Kening anak itu berkerut.
“Mikir? Mikirin apa?”
tanyanya. “Eeeh, tunggu sebentar! Kamu ini anak baru itu ya? Yang baru
pindah dari Jakarta?” tebaknya.
Wuiih hebat juga. Ternyata aku
terkenal juga di daerah ini. Aku tersenyum bangga dan mengangguk.
Anak itu menatapku seksama dan
mengangguk-angguk, “Hebat sekali anak kota ya! Mikir aja harus di jembatan.”
Katanya sok akrab membuat senyumku langsung lenyap.
Itu awal pertemuan kami. Entahlah
mengapa semakin mengenal Arta, aku justru semakin menyukainya. Arta
membantuku mengenal banyak tempat yang menyenangkan. Dia mengenalkanku pada
sungai penuh udang-udang besar, dia mengenalkanku pada arus jeram yang
menyenangkan walaupun kami melaluinya hanya dengan rakit bambu. Dia juga
mengajakku ke bukit dan membuatku terkagum-kagum karena pemandangannya.
Arta anak yang polos tapi cerdas.
Aku mengajarinya bermain basket, tapi dengan cepat ia mengalahkanku. Aku
harus menahan tawa ketika mengajarinya naik sepeda. Bagaimana mungkin anak SMA
sebesar dia belum pernah mengenal sepeda. Tapi itulah Arta. Sahabat baruku yang
lucu.
Suatu hari, Arta mengajakku ke
rumahnya. Sebuah perkampungan suku asli desa itu. Aku ragu menerima ajakannya.
Kedua orangtuaku sudah berpesan bahwa lingkungan tempat kami bermukim adalah
lingkungan dengan tingkat pendidikan rendah dimana perbedaan suku masih
sering menjadi masalah. Tapi Arta berkata, ada pesta di perkampungannya. Entah
apa yang dirayakannya, tapi kelihatannya menarik. Akupun mengangguk setuju.
Awalnya aku ragu, apalagi begitu
banyak orang berwajah gelap dan bertampang seram menatapku saat memasuki
perkampungan itu. Tetapi Arta terlihat cuek dan malah merangkul leherku,
memperkenalkanku pada segerombolan anak muda seusia kami. Dengan cepat, mereka
menerima kehadiranku. Mereka bercerita tentang babi hutan yang mereka
tangkap di hutan, akupun bertanya bagaimana caranya. Mereka bercerita dengan
seru. Sesekali mereka juga berjanji akan mengajakku berburu babi hutan. Kata
mereka, itu pekerjaan lelaki muda. Mereka juga bercerita tentang buaya-buaya
yang sering muncul di sungai, aku langsung terkesiap. Kutanya dimana sungai
itu, Arta tertawa terbahak-bahak ketika menjelaskan sungai tempat kami sering
mencari udang itulah yang banyak buayanya. Wajah pucatku membuat mereka tertawa
geli.
Seorang ibu bertubuh gempal membawa
makanan di tampah besar. Saat itu seorang remaja perempuan bertanya apakah aku
seorang muslim. Ketika aku mengangguk, mereka langsung mengatakan bahwa apa
yang baru saja disajikan adalah makanan yang tidak untuk orang muslim. Ibu itu
lalu menarik tanganku, menuju bagian belakang rumah. Dia mengambilkan sepiring
nasi dan menggorengkan telur untukku di kompor berbahan bakar kayu. Aku
tertarik melihat proses masak itu karena itulah pertama kalinya aku melihat
langsung. Ibu itu berbicara dengan ramah bertanya tentang dapur ibuku. Aku pun
bercerita tentang dapur Mama yang modern, mewah dan selalu bersih. Ketika ia
tampak terkagum-kagum, aku berbisik, “Iya, nanti suatu hari Ibu saya ajak biar
bisa ngajarin Mama saya masak seenak ini.” Kata-kataku langsung membuat Ibu
Arta tertawa.
Setelah makan, kami bernyanyi
diiringi petikan gitar. Sesekali kulihat mereka berjoget dan mengajakku ikut
bergabung bersama gadis-gadis muda yang berkulit gelap tapi manis. Aku
menikmati keramahan itu dengan santai sambil sesekali beristirahat. Mereka
sungguh berbeda dari yang kudengar selama ini. Tak ada lagi kesan sangar di
wajah-wajah penuh tawa bahagia itu.
Aku menatap rumah-rumah yang berdiri
di sekitar perkampungan itu. Tak sebagus dan tak seindah bagian lain dari desa
kecil ini. Tapi baru disinilah aku mendengar suara-suara kebahagiaan. Tawa yang
lepas, keramahan yang tak dibuat-buat dan hati yang benar-benar mencerminkan
persahabatan. Tak ada yang bersikap canggung meskipun kulitku lebih putih, tak
ada yang mengatakan perbedaan meskipun rambutku lurus dan mereka berusaha
berbahasa indonesia di depanku meskipun mungkin sehari-hari mereka terbiasa
menggunakan bahasa daerah.
Ketika pesta usai, aku berkata pada
Arta. Dua hari lagi aku berulang tahun. Biasanya mama dan papa memberiku
kebebasan mengadakan pesta ulang tahun bersama teman-temanku. Tapi karena aku
menyukai teman-teman Arta, aku ingin sekali mengadakan pesta yang sama seperti
itu. Arta langsung setuju dan akan menghias tempat itu menjadi meriah
bersama teman-teman. Aku suka idenya walaupun aku bilang kali ini aku ingin
mereka memasak sesuatu yang bisa kami nikmati bersama. Waktu aku berkata
seperti itu, ibu Arta bilang “tapi daging dan ayam itu mahal, nak. Susah
mencari itu di hutan.”
Aku langsung memotong perkataannya.
Aku bilang biar aku yang menyediakan semuanya. Biar aku yang menyediakan
daging, ayam, beras atau apapun yang bisa kami makan bersama-sama. Arta
langsung bertepuk tangan, ibunya memelukku hangat dan berkata, “Tahukah itu
artinya, nak. Itu Pesta Besaaar!!” Hatiku terasa hangat mendengar kata-kata
mereka. Amat sangat berarti.
Tapi pesta itu tak pernah terjadi.
Sebuah peristiwa besar membalik keadaan kami. Semua menghilang tanpa jejak.
Arta, ibunya, kakak perempuannya yang manis, teman-temannya, tetangganya bahkan
perkampungan itu lenyap tak berbekas.
Malam itu terdengar suara sirine di
mana-mana, terdengar pula suara tiang listrik yang dipukul berkali-kali,
sayup-sayup aku juga mendengar suara teriakan, makian dan umpatan
kemarahan. Aku juga melihat dari loteng kamarku ada seberkas cahaya api di
kejauhan. Lampu mati sepanjang malam dan seluruh keluargaku berkumpul di ruang
keluarga.
Aku bertanya pada Papa dan Mama yang
berwajah tegang dan bingung. “Ada apa, Pa?”
“Perang suku lagi.” Jawab Papa
singkat. Aku diam membisu, bertanya-tanya maksud Papa itu apa. Mama tampak
sekali ketakutan mendengar kata-kata Papa. Sepanjang malam kami tetap berada di
ruang keluarga, menunggu kesunyian datang namun suara-suara penuh ketegangan di
luar sana terus berlangsung hingga pagi datang.
Papa melarangku pergi ke sekolah
hari itu. Dia juga tidak bekerja seperti biasa. Sesekali kulihat Papa
menghubungi teman-temannya, saling bertanya tentang apa yang terjadi. Mama
memberitahu keluarga kami di Jakarta tentang keadaan kami. Sementara itu, aku
hanya termenung berharap masalah ini cepat diselesaikan. Aku sering mendengar
terjadi perang suku dan sebagainya di daerah pedalaman seperti ini, termasuk
dari Papa saat akan menerima pekerjaan ini. Tapi baru kali ini aku mengalaminya
sendiri.
Baru keesokan harinya, kami mulai
berani beraktivitas. Aku kembali ke sekolah dan melihat ada banyak
teman-temanku yang tak masuk sekolah. Wajah murung guru-guru membuatku yakin,
mungkinkah salah satu dari mereka menjadi korban. Tetapi aku berharap itu tak
mempengaruhi acara pesta ulang tahunku di rumah Arta. Sore nanti aku akan
menengok si tengil itu, janjiku dalam hati.
Tapi apa yang kujumpai sore itu
membuatku menangis. Ya Tuhan, mana perkampungan itu? Mana orang-orang ramah
itu? Mana wajah-wajah penuh tawa dan bersahabat itu? Mana temanku yang baik
hati itu? Aku berlari memasuki kampung yang sudah berubah wajah itu.
Aku tak melihat lagi perkampungan
yang kutinggalkan malam itu. Aku hanya melihat onggokan kayu terbakar merata di
seluruh kampung itu. Tak ada satupun rumah berdiri, tak ada satupun orang di
sana. Aku melihat ada ceceran darah dimana-mana. Barang-barang rumah tangga
berserakan di sana sini. Aku berlari melihat rumah kecil Arta. Rumah itu
dimana? Aku memandang berkeliling, mengingat-ingat letaknya. Ya Tuhan, dua hari
lalu aku makan di situ, dua hari lalu aku masuk ke rumahnya, dua hari lalu
masih bercengkerama dengan ibunya.
Sebuah tiang batu mengembalikan
ingatanku, itu dia rumah Arta. Aku segera berlari ke sana. Tapi yang kulihat,
hanya abu kayu-kayu yang terbakar. Rumah itu sudah rata dengan tanah. Aku
mencari-cari sekeliling dan kakiku tertendang wajan. Kupandangi wajan itu, tak
terasa air mataku mengalir membayangkan yang terjadi malam itu. Arta pasti
ketakutan, Ibunya dan kakaknya pasti ketakutan.
Apa yang terjadi? Mereka ke mana? Ke
mana sahabatku? Apakah dia baik-baik saja? Apakah ibu dan kakaknya selamat? Apa
sebenarnya salah mereka? Pertanyaan memenuhi kepalaku.
Seorang Polisi menepuk bahuku, “Nak,
cari siapa? Sebaiknya jangan ke sini dulu, masih berbahaya.”
Aku segera bertanya tentang apa yang
terjadi. Polisi itu menjelaskan bahwa terjadi perkelahian yang berlanjut
menjadi penyerangan desa. Banyak korban yang jatuh, dari yang sekedar luka-luka
dan bahkan ada yang tewas. Beberapa penduduk desa ada juga yang mengungsi ke
tempat lain. Aku langsung bertanya lokasi pengungsian. Ketika Polisi itu
menyebutkannya, ia tak lupa mengingatkanku agar tidak ikut campur dalam masalah
ini. Apalagi suasana masih sangat panas.
Apa yang dikatakan polisi itu benar.
Ketika aku mencoba masuk ke tempat pengungsian, wajah-wajah tegang menatapku
penuh selidik. Aku menyebutkan nama Arta berkali-kali pada Polisi yang
berjaga-jaga di tempat itu tetapi mereka tetap melarangku masuk. Baru setelah beberapa
kali, seseorang yang kukenal keluar dari salah satu tenda pengungsian.
Dia adalah salah satu teman Arta
yang kujumpai malam itu. Rupanya ia masih mengingatku. Ia langsung berlari
mendekatiku, menatapku sebentar dan berkata pada Polisi kalau ia mengenalku.
Namun berita yang disampaikannya
membuatku lemas. Arta ikut menjadi korban malam itu. Ia melindungi ibu dan
kakak perempuannya, namun ia tak bisa meloloskan diri dari keroyokan massa. Ia
mengalami penyiksaan luar biasa hingga tewas, dibakar dan tubuhnya
terpisah-pisah.
Dadaku terasa bagai dihujam sembilu.
Arta itu cuma anak remaja biasa. Tak mungkin dia melakukan kesalahan yang
sampai harus membuatnya tersiksa begitu. Teman Arta menjelaskan dengan wajah
tegang, bahwa malam itu semuanya panik dan hanya ingin menyelamatkan diri
tetapi massa datang terlalu banyak dan langsung menyerang penduduk desa.
Aku terdiam dan bertanya tentang
keluarga Arta. Anak itu tampak termenung sesaat sebelum berkata bahwa luka-luka
yang dialami ibu dan kakaknya juga sangat parah, membuat mereka meninggal dunia
keesokan harinya. Aku langsung menggeleng tak percaya mendengar penjelasannya.
Anak itu membawaku ke makam Arta,
ibu dan kakaknya. Makam sederhana yang dihiasi batu dan kayu biasa. Airmataku
jatuh mengenang kebaikan hati mereka, keramahan dan ketulusan mereka. Mereka
orang-orang yang mengajariku bahwa berbeda itu bisa jadi indah. Mereka yang
mengajariku bahwa bersahabat itu tak perlu wajah cantik dan ganteng. Mereka
pula yang membuatku merasa diterima, merasa menjadi bagian dari keluarga mereka
walaupun kami berbeda. Keluarga yang hangat, keluarga yang memandangku
sama seperti melihat diri mereka sendiri.
Kenapa mereka bisa melihat perbedaan
itu sesuatu yang indah? Kenapa masih ada orang yang menganggap perbedaan itu masalah?
Padahal tak ada orang yang benar-benar sama, semua orang pasti berbeda.
0 komentar:
Posting Komentar